Masalah UN

Posted by Arif Ediyanto in -

I.   PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ujian Nasional (UN) dalam beberapa tahun terakhir selalu menjadi topik menarik menjelang pertengahan tahun/pergantian tahun ajaran. Setiap tahun selalu terjadi perubahan kebijakan dan standar nilai yang menjadi patokan akan lulus atau tidaknya seorang pelajar. Setiap tahun juga peraturan-peraturan ini selalu menjadi pertentangan yang tergolong kontradiktif. Pro dan kontra dalam UN terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai pemerintah tidak konsisten, karena dengan UN tetap dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia. Nilai kelulusan dalam UN ditetapkan sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata pada UN sebesar 4,0. tahun 2005 menjadi 4,25, tahun 2006 4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25, tahun 2009 sebesar 5,5 dan tahun 2010 ini sama dengan tahun 2009 yaitu 5,5.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan UN secara gencar berlangsung sejak lim tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali diberlakukan secara nasional. Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan UN sebagai standar kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri. Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan kontra dalam pelaksanaan UN. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung, karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh UN dilaksanakan, tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan UN ditingkatkan. Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan. Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi pendididkan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Perilaku siswa dalam menyikapi UN juga perlu dicermati oleh semua pihak yang terlibat dalam UN. Seringkali kita mendengar tentang solidaritas remaja yang kadang kala disalahartikan atau mungkin juga ini adalah dampak dari pergeseran nilai sosial sehingga para remaja sekarang mengartikan bahwa sikap solider itu adalah bagaimana kita membantu teman, baik itu dalam hal positif maupun negatif. Sikap solidaritas remaja dibagi menjadi dua hal, yaitu solidaritas yang positif dan solidaritas negatif, jika solidaritas ditanggapi secara positif oleh remaja sekarang maka dampaknya akan baik sekali untuk perkembangan kehidupan sosial mereka di masa yang akan datang. Melihat fenomena ini kita juga sering melihat para siswa di sekolah misalnya pada saat ujian berlangsung mereka membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan sikap solider. Biasanya kalau kita tidak kasih jawaban sama temen yang tanya kita dibilang pelit, tidak solider, padahal kita juga serba salah, gimana ya kalau gini kan artinya kita udah berbuat curang.

II.  KAJIAN PUSTAKA
A.  Ujian Nasional
Penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada UN atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan yang tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, pada bab XVI pasal 57 sampai dengan 59 tentang evaluasi menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Manfaat standar setting ujian akhir, diantaranya: adanya batasan kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum dan adanya standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, dilakukan penilaian secara sistematis. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, penilaian dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satuan pendidikan atau sekolah juga harus melakukan penilaian kepada siswa untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) semua mata pelajaran melalui ujian sekolah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 66 menyebutkan bahwa UN adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi, yang proses penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (perguruan tinggi) yang bersangkutan. Jika pada perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan perguruan tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada masalah berarti jika saja UN dihapuskan, karena pada tingkatan perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh pendidik dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah representatif untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan.
Untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah, karena satuan pendidikan (sekolah) biasanya melakukan pelaporan hasil belajar siswa secara berkala kepada dinas pendidikan yang menaungi sekolah tersebut. Selain itu pemerintah pusat punya badan khusus yang disebut dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan yang ditetapkan BSNP yang terdiri dari standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan adalah acuan bersama satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajarannya.

B.  Dampak Negatif UN
     Dampak negatif dari sistem UN anatar lain:
   1. Konstruk berfikir para kepala sekolah/madrasah dan guru tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta didik untuk lulus UN saja. Akibatnya, tentang bagaimana mengantarkan peserta didik untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan nasional, tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting bagaimana para peserta didik itu siap berlaga dalam UN yang hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tersebut.
     2. Dampak UN bagi peserta didik adalah timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna bejalar di sekolah/madrasah. Tujuan belajar yang mestinya dalam rangka mencari ilmu, kecerdasan dan akhlak yang mulia berubah menjadi sekedar meraih kelulusan UN. Akibatnya, mata pelajaran yang tidak di UN kan akhirnya menjadi dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan UNnya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan UN hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan UNnya tidak fair-play alias tidak jujur.
   3. Dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila anaknya lulus UN. Degan demikian para wali peserta didik sudah tidak lagi memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah mandiri, berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak? Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta didik kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap belajar anaknya ketika UN sudah dekat, sementara untuk saat-saat di luar menjelang UN, anak tidak pernah dimotivasi untuk belajar secata kontinue.

C.  Perilaku menyontek dalam menghadapi Ujian
Menyontek memiliki arti yang beraneka macam, akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Biasanya usaha menyontek dimulai pada waktu ulangan dan ujian akan berakhir, namun demikian tidak jarang usaha tersebut telah dimulai sejak ujian dimulai. Walaupun kata menyontek telah dikenal, sejak lama namun dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tersebut tidak dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek baru ditemukan pada kata jiplak menjiplak yaitu mencontoh atau meniru ( tulisan pekerjaan orang lain ).
Dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia istilah menyontek memiliki pengertian yang hampir sama yaitu tiru hasil pekerjaan orang lain. Maka dapat disimpulkan menyontek dalam pelaksanaan ujian adalah mengambil jawaban soal–soal ujian dari cara–cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti : dari buku, catatan, hasil pemikiran temannya dan media lain yang kemudian disalin pada lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung. Faktor–faktor penyebab siswa menyontek saat melaksanakan ujian dan ulangan antara lain:
1.   Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam test formatif atau sumatif
2.  Pendidikan moral baik di rumah/di sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan siswa
3.   Sikap malas yang terukir dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab
4.    Anak remaja lebih sering menyontek dari pada anak SD, karena masa remaja bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan teman- teman sekelasnya
5.     Kurang mengerti arti dari pendidikan
Dari beberapa faktor penyebab di atas, dapat dikatakan siswa memiliki masalah di sekolah dan konsep diri yang rendah, maka sebagai guru berkewajiban memberikan motivasi siswa yang menyontek saat ujian dan ulangan dengan membiasakan bersikap jujur dalam setiap perbuatan yang dilakukan siswanya dan membangkitkan konsep percaya diri dan berusaha diri yang lebih baik.

III.  PEMBAHASAN
A.  Perspektif UN
Standar nilai yang selalu mengalami peningkatan merupakan salah satu usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tuntutan untuk memenuhi minimal jumlah maupun rata-rata nilai yang telah ditetapkan departemen pendidikan nasional seharusnya memacu peserta didik untuk bersungguh-sungguh dalam memahami setiap mata pelajaran, sebuah tujuan utama dari diterapkan sistem pendidikan adalah menyadarkan para siswa akan tanggung jawabnya sebagai siswa. Namun ketika pihak sekolah telah kehabisan cara untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai sekolah terpandang, bisa jadi bukan hanya memperbolehkan peserta ujian untuk melakukan praktek-prektek ketidakjujuran.
Untuk menghindari pro dan kontra tentang perlu-tidaknya ada UN, maka penulis menawarkan alternatuf solusi:
1. Fungsi UN dikembalikan sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan, bukan sebagai alat penentu kelulusan. Jadi, UN itu berfungsi seperti sistem Ebtanas yang model dahulu. Artinya anak tetap mendapat STTB dan nilai Ebtanas sebagai lampiran dari STTB tersebut. Ketika UN tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan UN di sekolah/madrasah jelas cenderung akan lebih fair-play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada sekolah/madrasah.
2.  Apabila UN itu tetap dijadikan alat penentu kelulusan, maka agar UN itu lebih demokratis dan adil, batas kelulusan (passing-grade) yang dijadikan patokan kelulusan itu jangan hanya ada satu seperti sekarang, tapi paling tidak ada tiga tipologi /strata passing-grade, misalnya : tipe A dinyatakan lulus dengan passing grade 5,1, tipe B lulus dengan passing grade 4,1 dan tipe C lulus dengan passing grade 3,1. Dan sejak awal pendaftaran UN peserta didik sudah mendaftar UN dengan preferensi tipe /passing-grade yang sesuai dengan kemampuan dirinya.

B. Cara Mengatasi Perilaku Menyontek
Meskipun tenaga pengajar harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu dan mengancam. Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif, lebih – lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor penyebab,yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat, menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa. Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana mereka berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
1.    Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
2.   Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
3.   Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan–lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran dari guru.
Adapun tindakan yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi perilaku menyontek, antara lain:
1.  Teguran verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
2.      Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
3.   Mengisolasi siswa dari teman–temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian atau ulangan dengan berusaha:
1.   Membentuk hubungan saling menghargai antara guru–siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
2.   Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
3.   Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
4.   Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
5. Menekankan belajar lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
6.    Bertanggung jawab merefleksikan kebenaran dan kejujuran, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
7.   Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.

IV.  SIMPULAN
      
UN sangat penting karena itu merupakan barometer atau ukuran keberhasilan peserta didik sejauh mana siswa menyerap atau menerima materi yang disampaikan pengajar. Selain mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sebaiknya peserta didik dibekali keterampilan, agar peserta didik bisa mengembangkan keterampilannya setelah keluar dari sekolahnya. Fenomena contek mencontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan semangat  bahwa kita bisa dengan bekerja sendiri-sendiri, tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Talmagae, H. & Hart, A. 1977. Investigative teaching of mathematics and its effect on classroom learning environment. Journal for Research in Mathematics Education, 8. 345-356.
……..1994. Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta: Balitbang Dikbud

http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/22/ujian-nasional-dansertifikasi/

Blogroll

Partners

About